Rabu, 04 Juli 2007

POSMODERNISME dan “KEBANGKITAN AGAMA”

Oleh:
Alamsyahruddin Pasaribu
Seperti yang dilukiskan oleh Peter L. Belger bahwa manusia modern mengalami anomea, yaitu suatu keadaan dimana di setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini (Haedar Nashir, 1997:3). Dari gambaran ini, terlukis bahwa fenomena manusia modren mengalami berbagai penyakit keterasingan (alienasi). Adapun gejala krisis manusia modern yang menyebabkan keterasingan adalah ketidak jelasan terhadap norma-norma kemanusiaan yang oleh Durkheim di sebut kehidupan tanpa acuan norma (normleesnes). Sehingga dari gejala krisis ini menimbulkan masyarakat yang kehilangan keseimbangan.
Ali Shariati secara tegas melukiskan penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern, yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia. Walaupun pernyataan ini begitu ironis, tetapi hal ini ada juga benarnya karena orientasi manusia modern adalah material (materialisme),sebagai contoh: manusia modern telah banyak menciptakan teknelogi dan industri untuk mengejar materi dan berkeinginan untuk berkuasa yang pada akhirnya menimbulkan malapetaka terhadap manusia itu sendiri. Bisa dikatakan manusia modern telah membawa dan menciptakan suasana manusia menjadi tidak bermakna.
Melihat gejala seperti ini, Daniel Bell telah lama meyuarakan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan telah meleyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu satu nafsu untuk menguasai sebagaimana watak masyarakat modern-kapitalis.
Pada tahun 1960-an, bangkit suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa cemas terhadap janji-janji terhadap gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan ini menamakan dirinya posmodernisme (Alwi Shihab, 1999:50). Salah satu gerakan posmodernisme mengembalikan semangat baru kepada nilai-nilai tradisi keagamaan, menghidupkan kembali relevansi nilai-nilai tradisioal suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh modernitas dan di nilai tidak berguna. Dengan demikian, gerakan posmodernisme dapat dikatakan telah mempertemukan kelompok agamawan.
Perlu di ketahui bahwa maksud menghidupkan nilai-nilai tradisional suci aadalah kehadiran masa lalu yakni rasa keagamaan (sense of the numinous) yang di isyaratkan oleh agamawan kristen Rudolf Otto (1869-1937), atau fitrah dalam istilah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa gerakan posmedern secara tidak langsung telah menghidupkan kembali pamor agama, atau istilah Gilles Kepel sebagai kebangkitan agama (Ahmad Gaus, 1999:322).
(Penulis adalah salah satu anggota JALINAN dan JARIK Medan. Jika ingin mengenal lebih jauh lagi, silahkan kunjungi di : www.alamlib.wordpress.com).

ETIKA PLURALISME "JAWABAN KEMAJEMUKAN BAGI TOLERANSI UNTUK SEMUA

Oleh:
Muhammad Mukhlis
Sadar atau tidak, pada saat ini kita dihadapkan pada kehidupan yang majemuk, perbedaan ras, suku, bangsa, negara, agama, dan lain-lain adalah sebuah kenyataan yang diberikan oleh Tuhan agar kita saling kenal mengenal. Hal ini pulalah yang mendasari berbagai aktifitas dunia menjadi semakin beragam, dikarenakan aktifitas di dunia yang begitu banyak maka perlu adanya sebuah konsep yang harus diakui, dikuasai dan dipahami bersama demi menjaga aktifitas dunia tetap pada koridor yang ada yaitu tidak melanggar tatanan etika.
Di dalam tatanan etika dikenal empat macam pendekatan dalam menilai sesuatu permasalahan, yang pertama pendekatan empiris deskriptif, kedua pendekatan fenomenologi, ketiga pendekatan normative dan keempat pendekatan mateetika.
Empat pendekatan yang ditawarkan oleh tatanan etika ini mendukung penuh untuk memberikan sebuah gambaran bagaimana ketika keragaman yang penuh perbedaan terbaur menjadi satu kelompok kesatuan.
Jika dalam sebuah wilayah ada bermacam-macam ras, bermacam-macam suku, bermacam-macam bangsa, bermacam-macam Negara, bahkan bermacam-macam agama, maka timbullah perbedaan mendasar yang diawali dari perbedaan itu sendiri, adanya sikap saling meremehkan, sikap saling mencela ras dan suku lain, sikap membuat kelas antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain, bahkan ada sikap mengklaim kebenaran dari sebuah paham agama terhadap agama lain. Ini adalah sebuah permasalahn yang besar dan mendunia, wajar ketika Kautsar Azhari Noor dalam salah satu makalahnya yang diseminarkan dan dipersentasikan di IAIN-SU Medan, menyodorkan tema “Menampilkan Agama Berwajah Ramah” sebuah telaah mendalam terhadap kehidupan kebeeragaman saat ini yang ada di dunia, khususnya di Indonesia.
Permasalahan mendasar yang ingin disampaikan di sini adalah mengenai kehidupan keberagaman agama di Indonesia belum mampu untuk menampilkan wajah ramah dari pemeluk agama itu sendiri.
Maka timbul permasalahn apakah agama yang salah? Atau pemeluk agama yang salah persepsi terhadap pemahaman agamanya? Mungkin pula agama salah dan pemeluknya tidak mengetahui kesalahan agamanya..?? dan sebagainya.
Namun apabila diajukan permasalahan diatas, mengenai poin pertama, apakah agama yang salah..?? tentu jawabannya, agama tidaklah salah, karena setiap agama mengajarkan pemeluknya mengenai cinta kasih, perdamaian, toleransi, meningkatakan harkat dan martabat diri manusia, solidaritas, persaudaraan, kebajikan, persamaan derajat, keadilan, kejujuran, hak azassi, dan lain sebagainya. Itu adalah hal pokol dari ajaran agama-agama yang benar.
Maka poin kedua yaitu atau pemeluk agama salah persepsi tentang pemahaman agamanya..?? maka jawabannya, kemungkinan benar!! Pemeluk agama tidak begitu paham tentang agamanya, sehingga pemeluk salah satu agama ada yang bersikap untuk mengklain bahwa ajaran dari agama-nyalah yang paling benar dan yang lain salah. Sehingga menimbulkan sikap non-toleran terhadap pemeluk agama lain, menganggap musuh maka harus diperangi, dimusnahkan, karena di khawatirkan mengganggu kestabilan dari agama yang dipeluknya, karena akan merusak citra kebenaran dari agamanya. Ketika sikap ini timbul dari salah satu pemeluk agama, ini dinamakan sikap eksklusifisme atau tidak mengakui kebenaran agama lain. Jika sikap seperti ini (eksklusifisme) timbul pada tiap-tiap pemeluk agama yang berbeda, maka dikhawatirkan perang atas nama agama akan terjadi lagi, maka imbasnya adalah akan mengganggu kestabilan dunia, terlebih lagi di Indonesia yang memang masyarakatnya sungguh sangat beragam dari berbagai etnis, ras, suku bahkan agama.
Oleh karena itu, perlu konsep toleransi dengan pola tatanan pluralisme agama. Artinya, bagi pemeluk agama mesti ada sikap mengakui kebenaran dari agama benar yang ada. Seperti yang ditawarkan oleh Budhy Munawar Rachaman mengenai pluralisme agama adalah ; sebagaimana sikap toleransi pada kebenaran agama lain dan bukan masuk agama lain, sehingga menumbuhkan sikap saling percaya dan menghargai hak-hak sipil keagamaan yang ada pada agama lain. Karena kebenaran tidak hanya terletak pada satu paham agama saja, ternyata pada agama lain terdapat kebenaran seperti yang ada pada agama yang kita anut selama ini.
Jika hal ini tidak di-indahkan, masih dalam sikap eksklusifisme, kefatalan yang akan ada yaitu seperti ; terjadilah perang atas nama agama, pemboikotan tempat-tempat ibadah, pengusiran pemeluk agama dari sebuah wilayah, pelecehan sebuah aliran sehingga menimbulkan klaim sesat, sehingga harus dibubarkan. Jika hal ini terjadi, apakah ini bukan pencederaan terhadap agama itu sendiri, maka pertanyaannya, mana ajaran yang di dalamnya termuat nilai luhur dan tidak bertentangan dengan etika itu..?? maka hal ini akan menjadi hal yang paling membodohkan bagi para agamawan yang selalu mengagungkan ajaran agamanya. Maka pluralisme agama adalah salah satu konsep bai kerukunan umat beragama yang mesti di jalankan dengan tatanan etika yang termuat dalam wilayah yang ada.
Poin ketiga yitu, mungkin agama salah dan pemeluknya tidak paham akan kesalahan agamanya..?? Jika hal ini ditanyakan, agama salah, ini adalah poin paling kecil terjadi. Karena semua agama benar itu baik, menurut ketentuan etika yang universal. Dan jika pemeluknya tidak paham akan ada kesalahan yang ada pada ajaran agama, maka sebenarnya seseorang itu tidak mengetahui tentang agamanya tersebut. Maka sebenarnya seseorang itu tidak beragama secara esensial. Namun jika ajaran tersebut tidak kacau pada pemeluknya dan lingkungan yang ada serta tidak menodai tatanan etika maka itu adalah benar. Maka poin ketiga ini adalah poin terkecil kemungkinannya terjadi, namun mungkin juga terjadi dan membahayakan kehidupan beragama yang ada di dunia dan di Indonesia khusunya. Ketika ornag-orang yang tidak paham akan agama menjadi panutan atas nama agama ini akan berbahaya.
Maka poin yang ditawarkan untuk menghindari hal tersebut (sikap non toleransi) di wilayah yang majemuk adalah konsep etika pluralisme, baik pada ras, suku, bangsa, Negara atau agama yaitu toleransi yang sesuai dengan tatanan etika. Seperti menghargai hak-hak sipil keagamaan lain di luar agama yang dianutnya. Sikap memberikan penilaian objektif bukan subjektif terhadap pandangan lain di luara pandangan yang selama ini mungkin dihadapinya. Dan menjalankan agama yang di yakini dengan sikap yang baik serta sikap pasrah diri kepada Tuhan.
Tulisan ini sengaja diterbitkan untuk seluruh kalangan yang mendambakan kedamaian di dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus.

(Penulis adalah salah satu pemerhati dari keberagaman umat beragama dan berniat menjaga keutuhan dunia umumnya dan Indonesia khususnya dari sikap non-toleransi demi kedamaian. jika ingin lebih mengenal penulis, silahkan kunjungi: http://www.muhammadmukhlis.wordpress.com/ ).